Beranda | Artikel
Bidah Dan Niat Baik
Minggu, 3 Desember 2017

BID’AH DAN NIAT BAIK

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari

Ketika sebagian orang melakukan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal mereka dilakukan dengan niat yang baik, tidak bertujuan melawan syari’at, tidak mempunyai pikiran untuk mengoreksi agama, dan tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah ! Bahkan sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ 

“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” [Muttafaq Alaihi]

Untuk membentangkan sejauh mana tingkat kebenaran cara mereka menyimpulkan dalil dan beberapa alasan yang mereka kemukakan tersebut, kami kemukakan bahwa kewajiban seorang muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah tidak boleh menggunakan sebagian dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain. Tetapi yang wajib dia lakukan adalah memperhatikan semua dalil secara umum hingga hukumnya lebih dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan. Demikianlah yang harus dilakukan bila dia termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan dalil.

Tetapi bila dia orang awam atau pandai dalam keilmuan kontemporer yang bukan ilmu-ilmu syari’at, maka dia tidak boleh coba-coba memasuki kepadanya, seperti kata pepatah : “Ini bukan sarangmu maka berjalanlah kamu!”.

Adapun yang benar dalam masalah yang penting ini, bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
“Sesunnguhnya segala amal tergantung pada niat” adalah sebagai penjelasan tentang salah satu dari dua pilar dasar setiap amal, yaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga yang selain Allah tidak meretas ke dalamnya.

Adapun pilar kedua adalah, bahwa setiap amal harus sesuai Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti dijelaskan dalam hadits.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak”.

Dan demikian itulah kebenaran yang dituntut setiap orang untuk merealisasikan dalam setiap pekerjaan dan ucapannya.

Atas dasar ini, maka kedua hadits yang agung tersebut adalah sebagai pedoman agama, baik yang pokok maupun cabang, juga yang lahir dan yang batin. Dimana hadits : إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” sebagai timbangan amal yang batin. Sedangkan hadits “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak” sebagai tolak ukur lahiriah setiap amal.

Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut memberikan pengertian, bahwa setiap amal yang benar adalah bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang keduanya merupakan syarat setiap ucapan dan amal yang lahir maupun yang batin.

Oleh karena itu, siapa yang ikhlas dalam setiap amalnya karena Allah dan sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam, maka amalnya diterima, dan siapa yang tidak memenuhi dua hal tersebut atau salah satunya maka amalnya tertolak. [1]

Dan demikian itulah yang dinyatakan oleh Fudhail bin Iyadh ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” [Al-Mulk/67: 2]

Beliau berkata, “‘Maksudnya, dia ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika dia benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan Sunnah Rasulullah” [2]

Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata [3], “Sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan. Mengapa dan bagaimana ? Yakni, mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan ?

Pertanyaan pertama tentang alasan dan dorongan melakukan pekerjaan. Apakah karena ada interes tertentu dan tujuan dari berbagai tujuan dunia seperti ingin dipuji manusia atau takut kecaman mereka, atau ingin mendapatkan sesuatu yang dicintai secara cepat, atau menghindarkan sesuatu yang tidak disukai dengan cepat ? Ataukah yang mendorong melakukan pekerjaan itu karena untuk pengabdian kepada Allah dan mencari kecintaan-Nya serta untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ?

Artinya, pertanyaan pertama adalah, apakah kamu mengerjakan amal karena Allah, ataukah karena kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu?

Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya? Ataukah pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diridhai-Nya?

Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika beramal, sedangkan yang kedua tentang mengikuti Sunnah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amal kecuali memenuhi kedua syarat tersebut. Maka agar selamat dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan. Sedang agar selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang diterima adalah bila hatinya selamat dari keinginan yang bertentangan dengan ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu yang kontradiksi dengan mengikuti Sunnah”.

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya (I/231) berkata, “Sesungguhnya amal yang di terima harus memenuhi dua syarat : Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengan ikhlas, tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima”.

Pernyataan itu dikuatkan dan dijelaskan oleh Ibnu Ajlan, ia berkata, “Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria : Takwa kepada Allah, niat baik dan tepat (sesuai sunnah)” [4]

Kesimpulannya, bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ  “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” itu maksudnya, bahwa segala amal dapat berhasil tergantung pada niatnya. Ini adalah perintah untuk ikhlas dan mendatangkan niat dalam segala amal yang akan dilakukan oleh seseorang dengan sengaja, itulah yang menjadi sebab adanya amal dan pelaksanaannya.[6]

Atas dasar ini, maka seseorang tidak dibenarkan sama sekali menggunakan hadits tersebut sebagai dalil pembenaran amal yang batil dan bid’ah karena semata-mata niat baik orang yang melakukannya!

Dan penjelasan yang lain adalah, bahwa hadits tersebut sebagai dalil atas kebenaran amal dan keikhlasan ketika melakukannya, yaitu dengan pengertian, “Sesungguhnya segala amal yang shalih adalah dengan niat yang shalih”

Pemahaman seperti ini sepenuhnya tepat dengan kaidah ilmiah dalam hal mengetahui ibadah dan hal-hal yang membatalkannya.

Dan diantara yang menguatkan bahwa diterimanya amal bukan hanya karena niat baik orang yang melakukannya saja, tetapi harus pula sesuai dengan Sunnah adalah hadits sebagai berikut.

رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ. فَقَالَ: “أَجَعَلْتَنِي لِلَّهِ نِدًّا؟ قُلْ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ

“Bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau kehendaki”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah kamu menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Tetapi katakanlah : “Apa yang dikehendaki Allah semata” [6]

Niat baik dan keikhlasan hati sahabat yang agung ini tidak diragukan. Tetapi ketika ucapan yang keluar darinya bertolak belakang dengan manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam akidah dan bertutur kata, maka Rasulullah mengingkari seraya mengingatkan kesalahannya dan menjelaskan yang benar tanpa melihat niatnya yang baik.

Hadits tersebut [7] adalah pokok dalil dalam sub kajian ini.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
_______
Footnote
[1]. Bahjah Qulub Al-Abrar : 10 Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
[2]. Hilyatu Auliya : VIII/95, Abu Nu’aim. Dan lihat Tafsir Al-Baghawi V/419, Jami’ul Al-Ulum wal Hikam : 10 dan Madarij As-Salikin I/83
[3]. Mawarid Al-Aman Al-Muntaqa min Ighatshah Al-Lahfan : 35
[4]. Jami Al-Ulum wal Hikam : 10
[5]. Lihat Fathul bari : I/13 dan Umdah Al-Qari : I/25
[6]. Hadits hasan, lihat takhrijnya dalam risalah saya : At-tasfiyah wat-tarbiyyah : 61
[7]. Dan hadist lain yang seperti itu masih banyak.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/7988-bidah-dan-niat-baik-2.html